Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

cerita panas di rumah sakit

Terbaring kesepian di kamar rumah sakit memang membosankan. Tapi, jika tahu celahnya, suster-suster manis bisa menjadi teman yang menyenangkan. Apa pun bisa terjadi di ruangan VIP rumah sakit. Main kucing-kucingan dengan tamu atau sanak famili makin menambah sensasi.
Menjelang sore, lorong rumah sakit itu senyap. Jam besuk sudah lewat. Dokter jaga sudah kembali ke ruang kerja. Para perawat baru saja berganti shift. Selain dengung mesin pendingin kamar, seluruh lantai ruang VIP rumah sakit di Jakarta Selatan itu sunyi senyap. Seperti tak berpenghuni.
Kegelisahan pun menyergap seorang pasien di kamar paling pojok. Sudah dua minggu sejak menjalani operasi lutut gara-gara mobilnya tabrakan, Gen-sebut saja namanya begitu-hanya bisa telentang di ranjang. Sepanjang hari ia cuma menonton televisi, sampai akhirnya dia punya ide. Tombol dipencet, memanggil suster untuk datang.
Tak sampai semenit, seorang suster masuk. “Ada yang bisa saya bantu,
Bapak?” tanya sang suster ramah sambil mendekati tempat Gen berbaring. “Mau ke kamar mandi,” jawab Gen. Wajahnya meringis, menahan nyeri ingin buang air kecil.
Perawat berambut sepundak itu tangkas mengambil pispot. Kedua tangannya mengangkat sedikit bahu pasiennya yang berbobot 65 kilogram itu. Dia membiarkan sang suster membuka piyamanya.
Rupanya, momen itu telah lama ditunggunya. “Suster, kok, jadi begini,” ujar Gen, tersenyum geli melihat “perkututnya” terbangun. Tak terduga, niat nakalnya mendapat respons. Perawat itu mesem. “Memangnya kenapa, mau saya teruskan?” ucap si suster, yang kali ini lupa mengakhiri sapaan lembutnya itu dengan kata bapak.
Gen tak banyak bicara. Rasa kaget mendengar jawaban suster ia sembunyikan lewat anggukan. Plus, satu kalimat singkat, “Saya tak suka pakai jari, Sus.” Tanpa banyak tanya, setelah membuang isi pispot, suster yang kita sebut saja namanya Juliet itu, kembali ke sisi ranjang. Di sisi kiri pasiennya itu, kemudian dia bersimpuh. Ada satu “tugas” yang mesti dia lunaskan.
Layanan manis tersebut tak hanya terjadi siang itu, tapi berlanjut selama Gen terbaring di rumah sakit sampai hampir sepekan. Dia tak perlu lagi merengek dengan trik kebelet pipis, tapi langsung pada sasaran. “Sejak awal saya lihat dia gampang digoda. Semula kelihatan jual mahal, tapi itu yang membuat saya nekat,” katanya, mengenang kejadian beberapa bulan lalu itu.
Bapak dua anak yang tinggal di Jakarta Barat ini semula hanya merayu. Misalnya, akan membelikan martabak jika Juliet mau menemaninya saat susah tidur malam. Tapi, jawaban si suster malah membuatnya keblinger. “Ah, kalau cuma itu, sih, aku juga bisa beli, yang lain, dong,” tuturnya menirukan rengekan Juliet.
Gayung pun bersambut. Sehari kemudian Gen mengubah trik rayuan. “Kalau diajak belanja ke Bandung, aku mau,” timpal sang suster merajuk. He, di manakah Gen? Di rumah sakit atau di panti pijat?
Tapi, ini bukan mimpi, Bung. Barangkali ini memang tugas yang harus dilakukan perawat atau suster itu, yakni melayani pasien sebaik mungkin. Namun, godaan minta diajak tamasya ke Bandung sambil berbelanja, apa itu termasuk dalam job desk-nya?
Selanjutnya, bisa ditebak. Mendapat jawaban begitu, hidung Gen makin belang saja. Pria berumur 39 tahun itu menilai tindak tanduk Juliet tak wajar. Sekali lagi kail dilempar. “Yakin, kalau bukan lantaran uang, dia enggak bakal mau sama saya,” kata Gen sambil tertawa lebar. Gen memang tidak ganteng. Jauhlah jika wajahnya disandingkan dengan bintang-bintang yang sering nongol di sinetron. Namun, duitnya cukup untuk menaklukkan perawat berusia 23 tahun itu.
Gampang caranya, uang puluhan ribu cukup untuk mengikatnya. Soal lokasi kencan, privacy sebagai penghuni kamar VIP membuatnya cukup aman dan nyaman. Trik itu berhasil. Di kencan berikutnya, biar mantap, dia menyelipkan selembar cek berangka dua juta rupiah di balik kertas check up dan daftar obat yang biasa si suster pegang. “Melihat lembaran itu dia hanya tersenyum, lalu segera mengangkat gagang telepon,” kata Gen. Dari kalimat yang dia tangkap, rupanya dia menelepon ruang jaga dan mengatakan sedang menunggu pasiennya yang tertidur lelap.
Agaknya jumlah itu sangat besar. Gen tak memunyai kesepakatan apa pun laiknya transaksi seks dalam bisnis esek-esek. “Sebetulnya dia punya tarif tersendiri, tapi dia baru ngaku pada kencan berikutnya,” ucap Gen, “saya anggap itu bonus.”
Bagi Gen, itu bonus, tapi bagi Juliet angka itu menandakan pasiennya bukan sembarangan. Selama sepekan penuh, tiga kali Gen mengencani suster manis satu atau dua jam di kamarnya. “Kesempatan emasnya hanya saat dia tugas shift malam,” ucapnya sambil mendelik nakal.
Biarpun kelihatannya punya banyak waktu, suster macam Juliet tetap tak mau ambil risiko. Dua rekan yang punya kebiasaan dan kelihaian sama pernah tergaruk dan akhirnya dipecat gara-gara ketahuan ada main dengan dokter dan pasien.
Lo, jadi banyakkah Juliet-Juliet lain? Benarkah “kencan pispot” sudah biasa? Lebih jauh lagi: benarkah ada sindikasi yang mengatur kencan gelap di kamar VIP rumah sakit?
Tak bisa dipastikan, memang. Namun, sesungguhnya polah suster juliet bukan kabar baru. Belasan tahunan lalu, seorang sumber MATRA bercerita hal serupa di sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta. Layanannya kala itu, baru tarian jemari atau seks oral, belum sampai naik ke ranjang. Sumber lain menceritakan, suster yang punya kebiasaan seperti itu umumnya masih muda usia, di bawah 25 tahun. “Yang saya kenal malah baru berusia 22 tahun,” katanya.
Para suster memang memiliki wilayah “kekuasaan” yang luas. Dia bisa masuk ke kamar perawatan tanpa ada yang melarang. Bahkan, dia bisa mengusir keluarga atau kolega pasien dengan alasan ingin memberikan kesempatan beristirahat. “Maaf, ya, Bu, bapak harus istirahat.” Dengan kalimat itu, istri sekali pun musti keluar dari kamar.
Betulkah ini side job suster zaman sekarang? Seorang Pengawas Keliling Rawat Inap tegas menjawab: ya! “Mustahil tak ada apa-apa jika mereka berkeliaran di sini saat libur, apalagi berdandan, dan bersolek tidak seperti suster lainnya,” kata perempuan yang sebut saja namanya: Cantik.
Menurut Cantik, tiap kali berkeliling, dia sering mendapati para suster seperti punya pasien pelanggan tetap. “Tiap pasien anu memanggil, yang datang selalu suster A, tak pernah yang lain,” katanya lagi. Sekalipun Suster A tidak berada di ruang jaga, suster lain belum tentu berani melayani pasien itu. “Seperti ada penjatahan,” tambahnya.
Dia mengakui, ada indikasi kuat empat perawat di rumah sakitnya suka memberikan layanan plus. “Rata-rata usia mereka di bawah 25, cirinya gampang, kalau tidak cantik, pastilah bertubuh tinggi dan montok,” kata lajang berusia 26 tahun ini.
Umumnya, pasien yang mereka jaring adalah pasien ruang VIP. “Kebanyakan pasien bule, meskipun sering juga orang lokal,” katanya.
Dia pernah menangkap basah isi pesan pendek di layar monitor ponsel milik salah satu perawatnya. Bagian akhir kalimat SMS itu adalah nama hotel dan nama pengirim pesan, cukup membuatnya paham kegiatan lain susternya. Dia tak menyangka kenakalan suster bisa jauh seperti itu. Sebelumnya, yang ia tahu hanya sebatas hubungan emosi dengan dokter jaga atau pasien.
Jenis perawatan spesifik yang membuat masa rawat inap cukup panjang agaknya ikut menyuburkan kasus-kasus seperti ini. Jika pasien harus menginap sebulan, boleh jadi interaksinya dengan suster bisa sangat akrab. Tak sedikit memang pasien pria punya sikap genit dan gombal terhadap suster.
Menurut Cantik, kasus-kasus seperti itu tidak hanya terjadi di rumah sakitnya saja, tapi juga di tempat lainnya. MATRA yang mengendus sepak terjang para suster ini mendapatkan sejumlah petunjuk yang mengejutkan. Tak percaya? Mari main ke sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Timur.
Bram, bukan nama asli, karyawan perusahaan jasa hiburan, suatu kali pernah menginap sepekan di ruangan VIP rumah sakit itu. “Dari awal, suster itu menatap saya dengan pandangan nakal menggoda,” kata lelaki yang kala itu mengidap hipertensi. Hari pertama dan kedua Bram masih jaim. Ia hanya berani menggoda Anita, sebutlah namanya begitu, suster muda berusia sekira 20 tahunan. “Kebetulan dia yang bertugas mengawasi saya,” ujar pria ini. Suster kepala berkunjung juga, meski hanya inspeksi.
Ringkas cerita, suatu sore Anita yang berbadan semok, menawarkan diri untuk memandikan Bram. Padahal, “Meski tangan diinfus, sebenarnya saya bisa mandi sendiri, kok,” kata Bram. Sebetulnya ia tak pernah menyangka kalau perempuan berparas manis dan berambut panjang itu berprofesi ganda. Saat mandi itulah semua misteri tersingkap.
Awalnya, Bram malu-malu kucing. Namun, rupanya libido memendekkan akal sehatnya. Suasana mendukung pula. Tak ada orang lain, Cuma berdua. Rasa suntuk dan bosan juga mulai menyergap lelaki itu. Tak terasa tangan Anita mulai bergerilya. Bram gelap mata.
Sampai hubungan badan? “Tidak, hanya oral,” katanya. Bukannya dia ogah bercinta. Selain badannya lemas, ada pertimbangan lain. “Enggak tega, mereka, kan, pekerja sosial,” tutur Bram, berkilah,” tapi menyesal juga, sih, tak sampai making love.”
Entah sungkan atau sekadar meluncurkan jurus dagang, Anita tak menagih bayaran. “Tapi, Anita sering pulang larut malam, jam 11 atau 12,” ujar Bram. Dia jadi tak tega hati. Empat lembar lima puluh ribuan mengucur dari sakunya, sekadar “uang lelah”.
Namun, permainan nakal tak berhenti sampai di situ. Setelah sembuh, Anita dan Bram masih kerap berhubungan. “Sekadar hangout, nonton dan, main biliar saja. Cium-cium sedikit, ya, ada,” katanya. Tapi, ia enggan bertindak lebih jauh.
Duit tip yang diterima para suster itu memang tidak sedikit. Barangkali itu pula yang bisa membuat mereka membuang penat di tempat-tempat hiburan yang gemerlap. Itu yang kerap dilakukan Suster Cinta- sebut saja namanya itu-perawat sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.
Di sudut kiri ruangan Planet Holywood, di ujung minggu awal Desember, dia duduk bersama seorang rekan. Usia keduanya sebaya. Dia memakai gaun katun hitam dengan padanan jins biru ketat. Cinta sendiri mengenakan rok selutut dengan setelan gaun katun cokelat.Tubuhnya kecil. Rambutnya dipotong pendek. Tak tampak riasan di wajah perempuan kelahiran Semarang, 23 tahun silam ini. Manis. “Aku jarang ke sini, maklum anak rumahan,” kata perempuan muda itu tertawa sambil menutupi mulutnya. Perempuan muda yang duduk di sampingnya-mengaku bernama Florida-bukan nama sebenarnya juga, ikut tertawa.
Cinta yang gemar clubbing ini, menurut seorang suster lain, berkelakuan sama seperti Juliet. “Tak ada tarif khusus, tapi kalau ditanya, paling sedikit lima ratus ribu sampai satu juta,” kata sumber MATRA yang lulusan akademi perawatan di kawasan Jakarta Pusat ini. Tak ada tarif khusus memang, karena Cinta bekerja sendirian tanpa “mami”.
Cara kerja Cinta cukup unik. Dia berburu mangsa di daftar pasien check up di kamar VIP. Jika calon pasien lebih dulu booking jam dan kamarnya, tugasnya lebih mudah. Dia lebih tahu usia, asal usul, dan “isi kantong” pasien dari data pekerjaannya. “Mudah, sebab selain menjadi orang pertama yang menyentuh pasien, suster di sini lebih leluasa berkomunikasi,” kata lajang yang tak menyukai asap rokok ini. Dokter tak banyak berada di kamar check up, namun di ruang konsultasi.
Jika berbicara soal seberapa jauh Cinta memberikan “layanan plus”, dia mengaku tak “sebebas” di rumah sakit umum. “Di situ aku lebih banyak mancing untuk kencan, gampang, kok,” ujarnya.
Pertama, dia akan berbuat sebisa mungkin menyentuh alat vital si pasien. Menurutnya, jarang sekali langkah pertama ini gagal. Langkah selanjutnya, ini kalau pasien langsung bereaksi dan situasinya aman, dia bisa melakukan onani di tempat.
Kalau gagal, masih ada nomor ponsel yang bisa dikontak. “Keluar dari situ, mereka pasti kirim SMS, kalau yang jaim akan langsung ketahuan apa maunya, dan mereka lebih mudah kita mainkan,” ucap pemilik tahi lalat di atas bibir yang mengaku ingin meneruskan kuliah manajemen keperawatan ini.
Biasanya, pasien yang masuk perangkap akan diajak clubbing. Ini juga satu syarat tak resmi yang disukainya dari calon pasien. Dari situ, dia membiarkan pasiennya mengajak ke hotel transit langganannya di kawasan Ancol atau Pasar Baru. “Sebab, besoknya aku bisa langsung ke tempat kerja,” tutur suster yang selama hampir setahun sudah menggeluti side job ini.
Di lain tempat dan waktu berbeda, MATRA juga bertemu Juliet, suster yang memberi layanan plus kepada Gen. Kala itu di sebuah kafe di Cilandak Town Square, salah satu tempatnya mampir sepulang kerja. “Tergantung situasi, kalau dapat shift malam, gue bisa kencan di kamar, tapi jika masuk pagi atau hari libur, lebih enak di hotel,” ujar lajang berdarah Jawa Barat ini. Selain bisa istirahat nyaman, bisnis gelapnya ini juga lebih aman. Juliet jarang pulang ke rumah. Sebulan bisa dihitung hanya berapa kali dia berada di tengah keluarganya di kawasan perbukitan kapur Bogor. Juliet mengaku side job yang dilakukannya sejak hampir dua tahun ini sangat menguntungkan. “Gaji di sini tidak sampai dua juta, buat jajan, pulsa, kosmetik, seminggu juga sudah habis,” kata pengunjung tetap Zanzibar dan Hard Rock Cafe ini, enteng. Gaya berbincangnya di dalam rumah sakit ternyata berbeda dengan di luar. Apalagi, jika lawan bicaranya adalah mangsanya sendiri. “Gue ML (making love) setahun setelah lulus dari akademi. Itu sama pacar kedua gue. Dia duda,” katanya.
Dia bilang, kerja sampingan yang dia anggap hal biasa ini buah dari kepenatannya selama belajar dan tinggal di akademi. “Selama tiga tahun mana pernah gue kenal pacaran, jangankan kenal dugem atau ML, ciuman juga enggak,” kata Juliet, yang lulus dari akademi perawatan di kawasan Bogor tiga tahun lalu itu.
Kebiasaan tidak pulang selama tinggal di asrama kiranya bisa menjadi kiat jitu sebagai tameng untuk menutupi jadwal keluyuran mereka demi side job tersebut. Maklum, clubbing dan menginap di hotel seakan telah menjadi rutinitas lainnya di samping merawat pasien.
Juliet mengaku menikmati betul kerja sampingannya itu. Tak sedikit pun dia takut risiko dikeluarkan oleh manajemen. “Kalau ceroboh dan ketahuan, itu risiko,” katanya, “tapi sampai saat ini bukan masalah.” Dalam sebulan, dia bisa mendapatkan dua sampai tiga pasien. Dari mereka, uang yang didapat bisa mencapai tiga juta. “Itu hitungan bersih, sebab mesti bagi-bagi ke teman yang lain juga,” katanya.
Kebanyakan, pasiennya dari kalangan bule. Namun, kalau terdesak, pasien VIP lokal seperti si Gen,juga digarapnya. “Dulu ada senior kita yang secara tak tertulis memberi aturan main dan mengoordinasikan pasien buat kita berlima, sayangnya dia sudah pindah ke luar kota,” ungkapnya.
Senior yang dimaksud tak lain, sebut saja, Meidi. Dia memang dikenal sebagai “mami kecil”. Berkat jasanya, suster macam Juliet dan beberapa temannya sering kebagian order menangani pasien yang pernah dia servis luar dalam semasa mereka bekerja di sebuah rumah sakit besar di kawasan Bekasi.
Tiga tahun silam, Meidi terpaksa drop-out atas permintaan yayasan pemilik rumah sakit setelah ketahuan sedang asyik “main” dengan seorang pasien berkebangsaan Nigeria. “Siapa tak tertarik, tiap kali datang ke kamarnya dikasih lima ratus ribu,” kata Meidi. Tentu kedatangannya tak semata berkunjung, tapi layanan plus “tarian” jemari. Hingga kemudian, layanan meningkat menjadi ML di ranjang pasien. Karena menganggur, Meidi meneruskan hubungan dengan si Niger, yang tenyata seorang bandar narkoba. Dia pun terjerat narkoba. Beruntung dia sanggup lepas dari si Niger. Kini dia berstatus mahasiswi sekolah seni tari di Jakarta. Kendati bisa secara perlahan mengurangi konsumsi narkoba jenis shabu-shabu, sisa-sisa masa kelamnya tetap dia jalani.
Perempuan berusia 24 tahun itu bukan kembali menjadi “suster plus”, atau bandar shabu, namun sebagai agen pemasok pasien bule dan pria-pria nakal untuk beberapa suster yang dia kenal. “Apa gue pantas disebut ‘mami’?” kilah janda muda berkulit sawo matang itu mengenai julukannya. Dia tertawa lebar.
Terserah apa omongannya. Yang jelas, 15%-20% uang kencan akan menjadi bagiannya jika ia memberi order satu pasien untuk diservis. “Kan, tidak harus di kamar pasien, kenapa mesti takut dituntut rumah sakit?” kata perempuan yang kerap bolak-balik Jakarta-Bandung ke rumah orang tuanya itu.
Dia juga mengaku tak pasang tarif. Dia bisa mematok harga seenaknya tergantung siapa pasien yang dibawanya. “Minimal delapan ratus ribu, kalau bule satu juta, tapi saya tak pernah bicara harga pada pasien, cukup ngomong dengan suster,” katanya. Pintar juga dia, si Meidi ini. Nasihat atau teguran bukannya tak ada. Cantik, misalnya, kerap gerah melihat kelakuan Meidi dan rekan-rekannya yang mencemari korps putih-putih itu, tapi dia cuma bisa angkat bahu. “Aku cuma bisa kasih nasihat pada mereka, lain dari itu aku tak bisa apa-apa, sebab mereka rata-rata pandai bergaul dengan dokter dan atasan,” kilahnya, serius.
Kedekatan itu juga rentan dengan aktivitas seksual semacam suster plus. “Hubungan seksual antara pasien dengan petugas kesehatan, dalam hal ini dokter maupun perawat, dapat disebut tindak pelanggaran susila,” ujar Dokter Kartono Muhammad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Walhasil, jangan coba-coba berpraktik ganda di rumah sakit. Sanksinya cukup tegas dan keras. “Itu tergantung peraturan rumah sakit yang terkait dan tingkat kesalahan yang dilakukan. Dan, saksi paling berat adalah pemecatan”, lanjutnya.
Namun, jika dilakukan di luar tempat praktik, hal itu sudah tidak terkait dengan profesi. Menurutnya, tindakan tersebut bisa saja terjadi. “Mereka, kan, sama-sama manusia,” kata Kartono, mengimbuhkan, “kalau sudah ngebet, ya, buat janji saja di luar.”
»»  READMORE...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS